Sabtu, 03 Maret 2012

Ada "Santri Gaul" Di Film Negeri 5 Menara




Awalnya tak ada niatan untuk menonton film ini. Ada flatform negatif di persepsiku tentang film dengan setting pondok pesantren (ponpes) ya .... paling-paling  ada aroma perempuan yang dinomor sekiankan kemudian bumbu lainnya adalah poligami. Karena hal itulah tidak ada ketertarikan untuk membaca novelnya untuk sekedar membaca sinopsis filmnya pun sama sekali tak tergerak. Saya memang sempat tanya kepada anakku yang nomor satu  tentang makna "man jadda wajada" jawabanpun langsung saya  terima tapi belum ada respon serius untuk memikirkannya.

Sore Sabtu sepulang mengajar di S-1 PAUD saya merasa ada waktu kosong yang bisa dibuat untuk jalan-jalan sekedar refresing. Saat itulah kembali teringat jawaban anakku tentang makna "man jadda wajada". Mulai ada ketertarikkan dengan maknanya dengan harapan filmnya bagus dan tidak mengecewakan. Spontan saya ajak anak-anak di rumah  untuk nonton , ya mereka OK biasa asal digratisi. Tujuan lainnya adalah mengenalkan mereka terhadap dunia ponpes.

Ya ... ternyata sejak awal film diputar ada kekaguman mulai muncul yang terus menerus tanpa jeda. Dari sisi gambar cukup indah kita diajak keliling  indahnya Danau Maninjau tempat tokoh utama (Alif) dan Randa bermain. Rumah-rumah khas Minang,  kegiatan pasar ternak (kerbau), dan  saat Alif dan ayahnya  naik bus menuju ke Jawa  bus yang dinaiki pelan merambat menaiki bukit dengan latar belakang pantai ... wow elok sekali.   Ada yang disayangkan tentang  taruhan durian runtuh  di hutan Bukit Barisan antar keduanya tidak dikspresikan dengan gambar penonton hanya diberi sekedar cerita dari kedua tokoh ini. Coba skuel gambar tentang taruhan  durian ini dimunculkan betapa penonton menjadi lebih kaya kepuasan.

Ya ... Alif (saya lebih suka mengatakannya remaja "coolon") berangkat ke tanah Jawa dengan dilema. Satu sisi ia ingin ke ITB sisi lain ia harus mematuhi saran ibunya untuk tes di Pondok Pesantren Madani di Ponorogo Jawa Timur. Ia bimbang walaupun pada akhirnya ia memilih untuk patuh terhadap keinginan ibunya yang berharap Alif bisa seperti Buya Hamka. Sementara Alif terobsesi ingin menjadi Habibie.

Akhirnya Alif mengikuti tes masuk di Ponpes Madani. Sempat penonton agak dibuat sport jantung saat bulpoin yang digunakan menjawab soal-soal tes kehabisan tinta. Untunya ia diberi pena ayahnya saat berangkat. Tes Alif lulus akhirnya sang ayah pun harus kembali ke Sumatera sementara Alif memulai menjalankan kehidupan pondok seperti yang diinginkan ibunya.

Seting Ponpes Madani ...... ahai ternyata adalah Ponpes Gontor. Tiga kali saya mengunjungi ponpes ini desain masjidnya yang membuat saya teringat kembali. Pertama saya bersama almarhum dan teman-teman peserta kursus baca Quran dari Masjid Al Falah Surabaya. Kedua saat survey untuk kunjungan guru-guru SD tempatku mengajar. Ketiga kunjungan studi bersama teman-teman guru SD segugus. Kesan saya saat itu adalah sebuah kesederhaan yang selalu melahirkan keluarbiasaan. Saat itu ada keinginan untuk menyekolahkan anak-anakku di sini walaupun ada alur lain yang  dianugerahkan Nya kepada saya dan anak-anak.Tetapi kekaguman saya terhadap ponpes ini senantiasa melekat sampai detik ini. Dan menonton film ini mengobati rinduku terhadap situasi  pembelajaran benar-benar yang efektif.

Awal memasuki kelas pembelajaran hari pertama Ustad Salman mengenalkan dirinya. Para siswa agak tercengang saat Ustad muda ini membawa samurai dan sebatang kayu. Tanpa banyak bicara ustad Salman memotong berkali-kali samurai dibacokkannya ke batang kayu. Agak susah akrena samurai itu tumpul. Pada akhirnya kayu tadi terpotong menjadi 2 potongan. Ya .... dalam proses yang penting "bersungguh-sungguh" itu hal yang angin disampaikan Ustad Salman. Sentuhan emosi pun ditularkan yang pada akhirnya semua siswa meneriakan "man jadda wa jada" meresapi .... , memaknai ..... yang pada akhirnya menjadi motivasi dan pemicu sekaligus energi kuat untuk berlari menggapai mimpi.

Alif masuk di kelompok Indonesia I. Ya memang pas nama itu karena 6 santri  di kelompok ini berasal menyebar dari pelosok nusantara. Ada Baso dari Goa, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Raja dari Medan. Cerita bergulir Baso yang selalu menghapal Quran di bawah menara, ada Said yang pintar konversation. Persahabatan keenamnya terjalin. Saat menunggu magrib mereka selalu beristirahat di bawah menara. Menara itu pun menjadi tempat berkomitmen dan membangun mimpi 6 bersahabat. Mereka mengklaim kepemilikan dengan menyebutnya "Sahibul Menara".

Di bawah menara itu mereka mereka berdiskusi, bermimpi, dan mencari solusi. Awan yang tampak terlihat jelas dari bawah menara tempat mereka beristirahat dijadikan media mimpi mereka. Serpihan-serpihan awan bagi mereka adalah cita-cita. Alif melihatnya adalah  negeri Paman Sam, sementara teman lainnya ada yang menandainya dengan Kampus Al Azhar di Mesir, London, dan juga cukup sekedar Indonesia. Ya .... dari sebuah persahabatan, kuatnya komitmen, semangat  berkobar, dan mau berproses dengan bersungguh-sungguh film ini ditutup dengan keberhasilan mereka.

Keenamnya lebih sering dalam tampilan ceria dan gaul. Bagaimana mereka menjadikan keponakan Kiai Rais yang cantik sebagai topik pembicaraan. Untuk sang keponakan kiai ini Alif mau bersusah payah bertamu hanya untuk menikmati kecantikan sang keponakan. Cukup manusiawa selama aini ponpes sulit mengungkap hal-hal seperti ini. Tetapi juga ada air mata  di film ini. Saat Baso harus kembali ke Goa karena harus merawat neneknya yang sakit. Tanpa rasa bersalah sebagai laki-laki yang selama ini ada kata "tabu laki-laki menangis" air mata mereka tercurahkan.  Toh laki-laki pun tak perlu  malu untuk menangis dan air mata juga tidak mengurangi "kelelakian" mereka saat melepas sang sahabat untuk kembali ke Goa dan tidak lagi kembali ke ponpes. Sebuah perpisahan yang mengharukan.



Sementara film ini pun menampiilkan sosok kiai yang cukup berpandangan modern. Memposisikan diri lebih ke fasilitator. Mau memberi kesempatan kepada santrinya sebagai subyek. Jangan kaget di film ini tak menekspos bagaiman santri begitu mendewakan sang kiai. Saat kelompok 6 ini memiliki ide untuk membantu membetulkan genset yang selalu mati. Mereka diterima di rumah sang kiai di ruang tamu dan cukup egliter duduk pun sama-sama di kursi tamu. Saya pernah tahu di salah satu ponpes ketika santri bertamu di rumah kiai  sang kiai duduk di kursi sementara santri duduk di lantai. Dan Kiai Rais memfasilitasi semua usulan kelompok 6. Yang pada akhirnya karena jasa mereka genset tak pernah lagi mati.

"Manjadda wa jada" akhirnya mengantarkan keenanmnya menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. Tidak hanya dalam tataran berguna tetapi mereka telah sukses mewujudkan ikrar mereka berupa mimpi yang dituliskan di talam  komitmen. Sebaiknya film ini ditonton oleh orang tua, pendidik, atau pun anak, dan remaja yang  sedang berproses meraih cita-cita. Banyak pembelajaran yang bisa diperoleh dari film ini ada cinta anak terhadap ibu, ada keteguhan hati dalam meraih cita, ada persahabatan, ada pimpinan yang berperan sebagai fasilitator. Selamat menonton ya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar