Film produksi Alenia selalu membuatku tergelitik untuk menontonnya. Nama Alenia adalah perpaduan nama Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain. Alenia adalah perusahaan film milik mereka. Saya kagum terhadap kepedulian keluarga muda ini terhadap pendidikan dan anak-anak Indonesia. Ini dibuktikan dari film-film yang diproduksinya selalu bertemakan pendidikan dan anak-anak. Terlepas dari tendensi bisnis Alenia selalu mempersiapkan film-filmnya untuk liburan anak sekolah. Sisi positif dari penayangan saat libur sekolah adalah memberikan hiburan sekaligus pendidikan bagi anak-anak sekolah yang sedang berlibur.
Film ini berbicara tentang kemiskinan, pendidikan, siswa, guru, dan pemuka agama yang diwakili Papin seorang pemuka agama Islam yang berpengaruh. Cerita kemiskinan ditampakkan dari lingkungan Amek tokoh utama anak kelas VI SD yang hidup dengan ibu dan kakaknya Minun. Mereka bertiga hidup di rumah panggung yang tak layak dari sisi kesehatan. Rumah itu digunakan untuk tidur dan beristirahat malam hari. Sementara di bawah panggung digunakan untuk buka warung kecil sebagai mata pencaharian mereka.
Diceritakan ayah Amek adalah TKI di Malaysia yang sudah tiga tahun tidak pulang. Rindu Amek terhadap ayahnya sering digambarkan lucu, haru, dan sedikit konyol. Bagaimana ia harus menukar anak kambingnya dengan HP murahan hanya karena ingin segera menghubungi ayahnya. Sayangnya desa Mantar tempat tinggal mereka desa yang tidak ada sinyal telepon. "Saya beli pulsa dengan sinyalnya," kata Amek kepada penjual pulsa saat tahu kalau desanya sulit menangkap sinyal. Di tengan kekurangan itu kadang muncul kreatifitas kelompok seperti saat Amek, teman-teman, dan tetangganya menemukan solusi untuk menggunakan kabel TV yang dihubungkan dengan selulernya dan antena tv hanya untuk mencari sinya, tetapi toh akhirnya Amek gagal juga menghubungi ayahnya.
Sekali pun kondisi rumahnya memprihatinkan Amek memiliki kuda putih kesayangan "Semadeng" namanya. Kuda ini berjasa sekali karena selalu mengantarkan Amek berbelanja kebutuhan warung milik ibunya. Amek begitu terampil berbelanja dan di sini pula sutradara memberi tahu penonton bahwa Amek jago matematika. Kekonyolan lain di sini adalah saat Amek berbelanja salah satu item belanjanya adalah es batu. Saat pulang ia harus bertemu Pak Ketut yang mogok sepeda motornya. Jiwa peduli Amek muncul akhirnya dia bantu Pak Ketut dengan cara kuda, dia, dan teman-temannya difungsikan sebagai penarik sepeda motor dan Pak Ketut menaikinya. Dampak dari terlalu lamanya di perjalanan es pun mencair dan ibunya tak lagi bisa menjual es batu yang biasa dicampur sirup yang digemari anak-anak sekitar rumah Amek.
Kuda yang dicintainya sempat dirampas Pak Ruslan penjual jam karena merasa ditipu oleh ayah Amek yang baru beberapa hari pulang dari Malaysia. Karena hal ini Amek senpat jatuh sakit. Akhirnya kuda itu kembali ke tangan Amek dan keluarga berkat kepedulian dan kebeningan hati Minun yang rela tabungannya diambil untuk menebus kuda di Pak Ruslan.
Amek digambarkan anak Mantar yang suka menonton TV. Oleh masyarakat Mantar ia sering difungsikan sebagai jurnalis kampung. Sering muncul pertanyaan dari tetangganya, "Ada berita apa tentang negeri ini Amek?". Dan Amek akan menjawabnya dengan lancar kadang sering juga berbaur dengan imajinasinya. Hobbi nonton TV nya membuat ia lupa sholat dan terlambat mengaji. Dengan dialog cerdas Papin mengingatkan Amek untuk tidak meninggalkan sholat. Amek yang berbibir sumbing sangat berkeinginan menjadi penyiar TV. Mungkin karena kekurangan yang ada pada dirinya inilah yang membuat Amek tidak pernah mau menyebutkan cita-citanya saat gurunya bertanya.
Amek adalah murid kelas VI SD yang tahun lalu tidak lulus UN. Traumatis fihak sekolah (guru dan KS) terhadap kegagalan UN memberikan dampak pola perilaku beragam pada guru di sekolah itu. Pak Alim memaknai sukses UN dengan menegakkan disiplin kaku, panismen selalu diorientasikan dengan olah fisik lari, push up, berteriak, tanpa senyum. Tokoh ini diperankan Lukman Sardi cukup berhasil menjadi guru killer yang membuat murid tidak suka. Pak Alim guru menyebalkan. Namun ada bu guru Imbok yang cantik dan begitu peduli terhadap para siswanya. Kebaikan guru ini tidak hanya terhadap siswanya tetapi dengan tulus ia mengajarkan membaca bagi masyarakat sekitar yang masih buta huruf. Penggambaran perilaku guru yang ada di film ini beragam dan bisa untuk introspeksi bagi para guru yagmenontonnya.
Masalah UN di "Serdadu Kumbang" mendapat porsi lebih. Minun yang menjadi siswa kebanggaan sekolah karena pintar dan pernah menjuarai lomba matematika tingkat kabupaten harus kecewa karena gagal UN. Kekecewaannya membuat dia berlari dengan kudanya menuju pohon cita-cita. Pohon cita-cita adalah pohon besar tempat anak-anak bercengkerama sekaligus berimajinasi tentang cita-citanya. Hampir semua anak sekolah di desa Mantar menuliskan cita-citanya di dalam botol lalu digantungkan cabang dan ranting pohon ini. Kecuali Amek yang memang tidak pernah mau cita-citanya diungkapkan kepada orang lain. Di pohon inilah Minun terjatuh dan meninggal saat berusaha mengambil botol yang telah ia gantungkan sebelumnya. Tragis.
Pada akhir cerita Amek, Acan, Umbe tiga joki kecil dan bersahabat ini sukses UN. Ada pesan yang ingin disampaikan di film ini bahwa kemiskinan, keterpencilan desa Mantar, perilaku guru yang mengajar tanpa hati , dan keterbatasan lainnya bukan hal yang bisa mematikan motivasi dan cita-cita. Terima kasih Alenia.
Film ini berbicara tentang kemiskinan, pendidikan, siswa, guru, dan pemuka agama yang diwakili Papin seorang pemuka agama Islam yang berpengaruh. Cerita kemiskinan ditampakkan dari lingkungan Amek tokoh utama anak kelas VI SD yang hidup dengan ibu dan kakaknya Minun. Mereka bertiga hidup di rumah panggung yang tak layak dari sisi kesehatan. Rumah itu digunakan untuk tidur dan beristirahat malam hari. Sementara di bawah panggung digunakan untuk buka warung kecil sebagai mata pencaharian mereka.
Diceritakan ayah Amek adalah TKI di Malaysia yang sudah tiga tahun tidak pulang. Rindu Amek terhadap ayahnya sering digambarkan lucu, haru, dan sedikit konyol. Bagaimana ia harus menukar anak kambingnya dengan HP murahan hanya karena ingin segera menghubungi ayahnya. Sayangnya desa Mantar tempat tinggal mereka desa yang tidak ada sinyal telepon. "Saya beli pulsa dengan sinyalnya," kata Amek kepada penjual pulsa saat tahu kalau desanya sulit menangkap sinyal. Di tengan kekurangan itu kadang muncul kreatifitas kelompok seperti saat Amek, teman-teman, dan tetangganya menemukan solusi untuk menggunakan kabel TV yang dihubungkan dengan selulernya dan antena tv hanya untuk mencari sinya, tetapi toh akhirnya Amek gagal juga menghubungi ayahnya.
Sekali pun kondisi rumahnya memprihatinkan Amek memiliki kuda putih kesayangan "Semadeng" namanya. Kuda ini berjasa sekali karena selalu mengantarkan Amek berbelanja kebutuhan warung milik ibunya. Amek begitu terampil berbelanja dan di sini pula sutradara memberi tahu penonton bahwa Amek jago matematika. Kekonyolan lain di sini adalah saat Amek berbelanja salah satu item belanjanya adalah es batu. Saat pulang ia harus bertemu Pak Ketut yang mogok sepeda motornya. Jiwa peduli Amek muncul akhirnya dia bantu Pak Ketut dengan cara kuda, dia, dan teman-temannya difungsikan sebagai penarik sepeda motor dan Pak Ketut menaikinya. Dampak dari terlalu lamanya di perjalanan es pun mencair dan ibunya tak lagi bisa menjual es batu yang biasa dicampur sirup yang digemari anak-anak sekitar rumah Amek.
Kuda yang dicintainya sempat dirampas Pak Ruslan penjual jam karena merasa ditipu oleh ayah Amek yang baru beberapa hari pulang dari Malaysia. Karena hal ini Amek senpat jatuh sakit. Akhirnya kuda itu kembali ke tangan Amek dan keluarga berkat kepedulian dan kebeningan hati Minun yang rela tabungannya diambil untuk menebus kuda di Pak Ruslan.
Amek digambarkan anak Mantar yang suka menonton TV. Oleh masyarakat Mantar ia sering difungsikan sebagai jurnalis kampung. Sering muncul pertanyaan dari tetangganya, "Ada berita apa tentang negeri ini Amek?". Dan Amek akan menjawabnya dengan lancar kadang sering juga berbaur dengan imajinasinya. Hobbi nonton TV nya membuat ia lupa sholat dan terlambat mengaji. Dengan dialog cerdas Papin mengingatkan Amek untuk tidak meninggalkan sholat. Amek yang berbibir sumbing sangat berkeinginan menjadi penyiar TV. Mungkin karena kekurangan yang ada pada dirinya inilah yang membuat Amek tidak pernah mau menyebutkan cita-citanya saat gurunya bertanya.
Amek adalah murid kelas VI SD yang tahun lalu tidak lulus UN. Traumatis fihak sekolah (guru dan KS) terhadap kegagalan UN memberikan dampak pola perilaku beragam pada guru di sekolah itu. Pak Alim memaknai sukses UN dengan menegakkan disiplin kaku, panismen selalu diorientasikan dengan olah fisik lari, push up, berteriak, tanpa senyum. Tokoh ini diperankan Lukman Sardi cukup berhasil menjadi guru killer yang membuat murid tidak suka. Pak Alim guru menyebalkan. Namun ada bu guru Imbok yang cantik dan begitu peduli terhadap para siswanya. Kebaikan guru ini tidak hanya terhadap siswanya tetapi dengan tulus ia mengajarkan membaca bagi masyarakat sekitar yang masih buta huruf. Penggambaran perilaku guru yang ada di film ini beragam dan bisa untuk introspeksi bagi para guru yagmenontonnya.
Masalah UN di "Serdadu Kumbang" mendapat porsi lebih. Minun yang menjadi siswa kebanggaan sekolah karena pintar dan pernah menjuarai lomba matematika tingkat kabupaten harus kecewa karena gagal UN. Kekecewaannya membuat dia berlari dengan kudanya menuju pohon cita-cita. Pohon cita-cita adalah pohon besar tempat anak-anak bercengkerama sekaligus berimajinasi tentang cita-citanya. Hampir semua anak sekolah di desa Mantar menuliskan cita-citanya di dalam botol lalu digantungkan cabang dan ranting pohon ini. Kecuali Amek yang memang tidak pernah mau cita-citanya diungkapkan kepada orang lain. Di pohon inilah Minun terjatuh dan meninggal saat berusaha mengambil botol yang telah ia gantungkan sebelumnya. Tragis.
Pada akhir cerita Amek, Acan, Umbe tiga joki kecil dan bersahabat ini sukses UN. Ada pesan yang ingin disampaikan di film ini bahwa kemiskinan, keterpencilan desa Mantar, perilaku guru yang mengajar tanpa hati , dan keterbatasan lainnya bukan hal yang bisa mematikan motivasi dan cita-cita. Terima kasih Alenia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar